Thursday, January 19, 2012

its been almost 4 months I haven't update my blog.
since I know not a lot of people checking my blog anyway...I sincerely think that there's no one disappointing. hehe...

...what's up blog? what's up my writings... :D

Friday, September 23, 2011

CINTA BENANG MERAH

Langit malam tak selamanya hitam dan kelam. Ada kalanya ia terlihat biru gelap dan berbintang terang. Jika ada yang mengatakan di saat bintang berpindah dari tempatnya, kita dapat meminta sebuah permohonan, dan apapun permohonan itu, akan terkabul. Kalau itu memang benar adanya, aku akan meminta satu hal, aku akan meminta kepada-Nya agar orang-orang yang kucintai tak lagi bersedih...
Dua tahun sudah aku berada di Jakarta, dan aku belum juga dapat menemui Anna dan Annie di Jogya. Aku bahkan tidak berusaha untuk menanyakan nomor mereka untuk sekedar bertegur sapa. Entah apa yang membuatku begitu berat menghubungi mereka. Aku masih saja merasa terenyuh dengan kata-kata Annie kapadaku.
Bagaimana bisa aku tidak menyadari perasaannya kepadaku? Bagaimana bisa aku menyakitinya? Bagaimana bisa ia menahan segala apa yang ia lihat semasa aku bersama Anna? Aah...aku sungguhlah laki-laki yang hina. Apa yang tidak aku pandang saat Annie berusaha mengungkapkan isi hatinya...?Apa kabar mereka sekarang ini?
Kini aku bagaikan langit tak berbintang. Bagai laut tak bergaram. Bagai burung tanpa sayap. Aku cacat, tanpa mereka. Terasa ada yang hilang saat mereka tak disisiku. Namun apa yang dapat aku perbuat untuk memperbaiki semuanya? Sedangkan begitu banyak hal lain juga yang harus aku lakukan. Tuhan...terangkanlah jiwa ini hingga menemui titiknya, dan aku merasa nyaman...
”Mr. Vino... sebentar lagi hujan turun lebat nih....”
Lamunanku seketika pecah berhamburan ke tempat-tempat yang tak dapat kulihat. Teman dekatku, Bowo, mengagetkanku dengan suaranya yang terdengar serak di telingaku.
”udah... bentar lagi ujian. Mendingan lo mikirin entar lo mau jawab apa di kertas ujian lo!” goda Bowo yang menjadi teman dekatku sejak kepindahanku ke Jakarta.
”iya.” jawabku singkat.
Aku dan Bowo lalu beranjak ke kelas untuk mengikuti ujian tengah semester kali ini.
”ini hari terakhir ujian kan ya? Entar mau kemana nih kita, No?” tanya Bowo semangat.
”gak tau!”
”lo kenapa sih, No?”
aku terdiam.
”gini deh! Sekarang kita ujian dulu, abis itu lo baru cerita lo ada apa! Gimana?” bujuknya.
”iya.” jawabku sambil tersenyum.

Entah mengapa hatiku terasa begitu memberatkan. Seakan menyadari banyak hal dalam satu waktu. Namun segalanya tampak bagaikan puzzle yang harus kususun serapih mungkin, barulah kudapat jawabannya. Sungguh memusingkan.
Hatiku seperti tertegur akan suatu hal yang tak ada dapat aku jabarkan apa itu.
”No! Kenapa lagi sih lo?”
lagi-lagi, Bowo membawaku ke dalam sadar.
”eh..nggak kok.” jawabku mengelak.
”ya udah... sekarang lo bilang sama gue ada apa sih sebenernya!”
”udahlah, Wo. Udah gak ada gunanya lagi dibahas juga.”
”yakin?”
”yakin, Wo!”
”bener?”
”ok. Jadi gini....”

Tiba-tiba handphone-ku berdering.

Tak lama aku harus memikirkan orang lain di saat hatiku sedang kalut. Aline. Kekasihku yang cantik.
Sudah 8 bulan ini aku bersamanya. Kami menikmati waktu bersama.
Lagipula mengapa aku harus merasa tidak beruntung. Aku begitu beruntung mendapatkan Aline. Ia wanita yang cantik. Berpendidikan. Ia juga sangat mencintaiku. Walau terkadang sifatnya tak dapat aku terima, namun aku harus menerima Aline apa adanya. Karena ialah wanita terdekatku kini selain Ibu.
”Wo, nanti kita lanjutin. Gue jemput ’bini’ gue dulu.” ucapku sambil beranjak dari tempatku dan Bowo duduk tadi.
”yaah...dasar gembel...ya udah sana! Salam buat Aline, No! Kasih dia tahu kalo gue lagi nyari pacar. Kali aja ada temennya yang cantik mau sama gue.” Bowo lalu tersenyum lebar yang kusambut dengan senyum simpulku.
”iya. Nanti gue sampein. Gue jalan dulu ya!”
Aku lalu bergegas mengambil motorku dan menjemput Aline di tempat temannya yang ia sebutkan di telephone tadi.
Entah mengapa aku merasa fikiranku berada di tempat lain. Sungguh tidak nyaman memiliki perasaan seperti ini di dalam hati.
Aku tidak ingin Aline melihatku seperti ini. Aku harus terlihat baik-baik saja.

Di kejauhan, aku sudah dapat melihat sosok kekasihku sedang menungguku di depan gerbang rumah kawannya, Lisa.
”maaf. Aku terlambat.” aku lalu turun dari motorku dan mengecup tangannya dengan lembut. Seperti yang dulu Annie lakukan untukku disaat terakhir kali aku bertemu dengannya.
Tunggu. Mengapa tiba-tiba kau memikirkannya disaat aku sedang bersama Aline? Bukankah ini tidak adil bagi Aline?
Aline. maafkanlah aku. Seandainya saja kau tahu, aku menyimpan bagitu banyak rasa di hatiku... mungkinkah engaku akan mengerti jika aku ceritakan ini kepadamu?
”gak apa-apa kok... aku juga belum lama keluar gerbang. Tas-ku juga masih di dalem.” jawabnya lembut.
”Lisa nya mana, Lin?” tanyaku berbasa-basi.
”di kamar.” jawabnya singkat.
”aku tunggu kamu disini saja ya, sayang?”
”tunggu ya!” pintanya lembut.
Dan aku meng-iyakan. Menunggu. Menghantarkan Aline pulang hingga rumahnya. Lalu aku kembali ke tempatku. Membaringkan tubuhku yang lelah. Dan kembali termenung. Hingga matahari meninggalkanku, dan dinginnya malam mengikatku kembali seperti biasa.

····

Aku merasa tak lagi sanggup menahan rasa ini sendiri. Tak lagi merasa lugu.
Lalu aku memutuskan untuk menemui Bowo malam itu juga dan menceritakan apa yang mengganjal di hatiku beberapa hari belakangan ini.
Kenangan-kenangan yang belakangan sering muncul di hatiku secara tiba-tiba.
Kepenatan-kepenatan yang sejauh ini membuatku semakin tidak tahan.

Aku yang sudah duduk di samping Bowo, tak tahu harus memulai ceritaku darimana, ternyata membuat Bowo tersenyum-senyum sendiri melihatku dilema.
”eh...gila lo ya? Mau cerita apa nggak sih... jadi orang kok ya aneh banget-banget sih...” candanya ringan menghangatkan suasana hatiku yang sedang dingin.
”eh, iya. Sorry, Wo.”
”terus?”
”gini, Wo.....


Jogyakarta, Desember 1991

Langkah-langkah kecil berhamburan di atas hamparan rumput-rumput basah yang membasahkan kaki-kaki kecil itu. Tawa riang mereka, senyum-senyum manis, menghiasi hari yang mendung namun tetap bersahabat.
Langit dan bumi seakan hanya tempat untuk menghempaskan lelah. Dan matahari sebagai saksi bahwa Vino, Anna, dan Annie pernah bersama.
Alangkah indahnya dunia jika tetap seperti itu. Tanpa beban dan menyenangkan. Dipenuhi keceriaan dan lepas bagai burung yang merdeka.
Vino, Anna, Annie... aah...sungguh bocah-bocah yang belum mengerti apa itu hidup. Hanya tahu bagaimana caranya mencari kesenangan yang mereka sukai.
Hari itu, dimana segalanya berubah menjadi begitu tenang, mereka bermain di hamparan taman yang luas. Taman yang dihiasi ilalang-ilalang tinggi yang indah. Ilalang-ilalang yang begitu malu menunjukkan siapa mereka. Yang akhirnya mereka tertunduk ringan hingga tampak begitu ramah.
Berlarian...tertawa...bergandengan...membuat janji persahabatan abadi. Mereka  yang sungguh saling menyayangi. Mereka sama sekali tak menghiraukan hujan yang turun membasahi. Hujan seakan menemani mereka bermain hingga mereka lelah. Namun hujan hari itu tak terlalu bijak...Annie kecil terjatuh, tersungkur karena kaki kecilnya tak mampu menemaninya menghantam genangan air yang menyimpan batu kecil di dalamnya. Annie kecil yang menangis sedu, menarik perhatian Vino dan kembarannya Anna.. Jika awalnya mereka mentertawakan Annie, kini berubahlah Anna yang ikut bersedih melihat saudara tercintanya sakit, dan Vino yang pada awalnya bingung, akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk Annie.
Vino berlari menjauhi kedua sahabatnya yang masih tampak menangis itu di tengah taman yang masih di bertemankan hujan. Namun tak lama Vino pergi, ia kembali dengan hati yang lapang. Mencoba menghangatkan hati Annie yang sedang dingin dengan membalut lukanya dengan seutas daun dan mengikatnya dengan ilalang panjang yang indah. Memang bukan pertolongan yang maksimal, namun bagi Annie, mungkin itu adalah hal terindah yang pernah ia dapatkan dari Vino. Vino-nya tersayang.
Tersenyumlah Annie. Pudarlah semua sedihnya. Hangatlah sudah hatinya. Dan Anna, kembali bersemangat dengan tawanya yang lepas. Aah...sungguh hari yang indah...
Kembalilah kami ke rumah mereka masing-masing dengan ditemani celotehan-celotehan Anna yang membuat Vino dan saudaranya tertawa terpingkal-pingkal.
Dan kenangan hari itu, akan menutupi segala sedih di seluruh hari sesudahnya. Seberat apapun hari yang akan mereka lalui, jika mereka menoleh ke hari itu, tak akan ada yang mampu membuat mereka bersedih. Terutama Annie.

Annie
Tik...tik...tik...suara hujan itu masih terdengar dengan jelas. ”Dengarkan itu,Annie!” serunya pada dirinya sendiri dalam hati saat ia bersedih. ”akan abadi...selamanya.” janjinya lagi.

····

Vino, Anna, dan Annie. Sungguh naif jika dikatakan mereka akan bersama selamanya. Karena hidup tidaklah melulu tentang cinta dan persahabatan. Seseorang harus menjalani hidupnya, membuka mata tentang dunia, dan seperti apa rupa sebenar-benarnya dunia. Indahkah? Sulitkah? Menakutkankah? Biarlah mereka yang merasakan seperti apa hidup mereka masing-masing...
Tumbuh layaknya gadis-gadis pada umumnya. Menangis, tertawa, lalu menangis lagi karena banyak hal. Dan mereka bak peri-peri kecil yang dimanapun mereka berada, tak urung mata manusia ingin memandang mereka. Indah...cantik...menyejukkan...
Anna tumbuh sebagai gadis yang periang dan memiliki banyak teman-teman yang menyayanginya. Bergaul dengan siapapun tanpa lupa ia harus seperti apa. Menyenangkan dan mampu menghibur siapapun yang sedang bersedih. Mata indahnya selalu membuat hati orang-orang yang ada di dekatnya tenang. Kehangatannya bagaikan kulit domba di musim dingin. Sangat di agungkan... ia mampu membuat orang lain berdetak kagum padanya. Memujinya. Mampu membuat orang lain mengaharapkan keberadaannya selalu. Merindukannya bagai merindukan cahaya di kala malam begitu panjang terasa. Rambut indahnya membuat wajahnya terlihat begitu apik. Kulit putih dan mulusnya dapat membuat senyum indah di wajah lain. Dan senyumannya, tak mampu tertolak untuk menciptakan senyum-senyum lainnya. Sungguh mendekati kesempurnaan atas sebuah keindahan jasmani seorang wanita.
Annie...ia gadis yang pemalu. Ia bahkan tidak memiliki banyak teman. Ia hanya dapat bertemankan Anna sebagai jiwa keduanya. Sungguh berbeda dengan Anna jika tidak membandingkan fisik. Annie bahkan dapat dikatakan lebih indah daripada Anna. Hanya saja ia tidak dapat bergaul sebaik Anna. Tak banyak kata yang dapat terucap oleh Annie. Annie seakan berbicara melalui mata indah dan senyum manisnya. Entah apa yang membuat mereka bersifat begitu berbeda. Yang pasti mereka saling menyayangi. Dapat menutupi kekurangan satu sama lain. Tak ada teman lelaki kecuali aku. Tak ada cerita lain yang keluar dari suara indah Annie kecuali cerita tentang Vino. Tak ada cinta untuk laki-laki lain, kecuali untuk Vino. Yaa...Annie mencintai Vino. Entah sejak kapan. Namun yang pasti cinta itu besar. Entah abadi atau tidak. Namun yang pasti cinta itu mengakar kuat di hati Annie.

---
Cinta Annie selalu mengalun indah dihatinya. Walaupun tak pernah terucap. Namun cinta itu selalu berseru saat ia menatap Vino. Terucap saat ia tersenyum untuk Vino. Terucap saat ia bercerita bagaimana hari-harinya kepada Vino. Vino... Vino... Vino... seakan hanya nama itu yang ada di dalam sadarnya.
Vino. Sang pahlawan kecil yang berwajah bimbang. Ia tak pernah sungguh-sungguh mengutarakan sesuatu secara langsung. Vino juga tidak pernah benar-benar tahu apa yang ia rasakan. Sungguh tercermin melalui wajahnya.
Mungkin karena sejak kecil ia sudah berada diantara dua pilihan. Ayah dan Ibunya berpisah, dan saat sekecil itu, ia sudah harus memutuskan, dengan siapa ia akan tinggal. Walaupun ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tinggal bersama ibunya di Jogya, hampir setiap saat ia merindukan ayahnya yang berada di Jakarta. Ia tak dapat selalu berkeluh kesah kepada ayahnya. Tak dapat memeluk dan memanggil sebutan ayah setiap ia membutuhkan sosok seorang ayah. Hanya ada paman dan adik Vino yang juga laki-laki, yang menemani hari-hari Vino di rumah. Sejak kecil, ia sudah tahu kalau ialah yang harus menjaga Ibu dan adiknya. Ialah yang harus menjadi sandaran mereka. Memang besar beban yang Vino harus pikul, namun Vino bukanlah laki-laki lemah yang cengeng, dan jadilah Vino yang begitu penyabar, penyayang, dan ramah.
Hidup Vino dan Anna begitu berwarna. Begitu banyak hal yang mereka temukan dalam hidup. Namun tidak dengan Annie yang penyendiri. Walau Anna, Annie, dan Vino sering menghabiskan waktu bersama-sama, ada kalanya mereka terpisah oleh keadaan yang memang harus mereka jalani sendiri-sendiri.
Saat mereka beranjak dewasa, Anna yang lantang dan berani, mengungkapkan isi hatinya kepada Vino. Anna menyatakan rasa sayangnya kepada Vino, dan Vino menyambutnya hangat. Sangat hangat, Vino tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk meng-iyakah kasih Anna untuknya. Pada kenyataannya, Vino memang menyayangi Anna, juga Annie.

Vino
Saat itu, aku dan Anna memadu kasih di kota Jogya yang akustik. Mengalir begitu indah. Begitu manis. Taburan-taburan kata-kata indah, terucap dari bibir kami. Sentuhan-sentuhan penuh kasih sayang mengelilingi kami. Percikan-percikan cinta mendalam di hati kami. Sedangkan Annie, memilih untuk jatuh kedalam sendirian. Ia memilih jatuh kini, bukan nanti. Ia telah membuat keputusannya sendiri. Annie memilih menyimpan cinta agungnya serapih mungkin di hatinya. Walaupun harus terseyum miris melihat kebahagiaanku dan Anna. Ia berjuang untuk cintanya yang tak berujung. Keyakinan yang begitu besar ia tanamkan pada dirinya. Bahwa suatu saat nanti, aku akan menyadari cintanya. Yaa...suatu saat nanti. Entah kapan waktu itu tiba, namun ia yakin pasti aku akan merasakannya juga.
Pada suatu hari yang cerah, aku mengajak Anna ke sebuah danau yang menurutku sangat indah. Aku menggenggam tangan Anna kuat-kuat melewati rawa dan aku menunjukkan jariku ke danau itu untuk memperlihatkan pantulan bayangan kami berdua yang sedang bersama.
Anna tersenyum tipis hingga tak sadar ia meneteskan air mata bahagia. Anna yang sedang berbahagia bersamaku di sampingnya.
Aku lalu mencoba menghilangkan air mata itu dari wajah Anna. Aku mengecup kening Anna, lembut...
Anna menutup matanya perlahan dan menggenggam kedua telapak tanganku yang tersentuh erat di kedua pipinya. Lalu kami mulai bercumbu hangat di bawah langit biru rendah, di ketenangan danau indah, bersama burung-burung merah...
”jangan pernah lupakan ini, Anna!” bisikku lembut.
Anna hanya dapat tersenyum sambil terus menutup matanya. Menempelkan keningnya di daguku. Tenang... segalanya begitu hangat...
”aku nggak mampu membuka mataku, No. Aku takut ini hanya mimpi. Karena jika ini memang hanya mimpi, aku belum ingin terbangun dari tidurku.” ucap Anna dengan terus menutup matanya.
”kalau begitu teruslah bermimpi tentang aku! Aku akan terus berada disana menemani kamu. Selama kamu menginginkannya.”
Lalu kami kembali bercumbu.
Dan ini adalah salah satu keindahan hatiku yang lagi-lagi kucoba tunjukkan di depan Anna.
Anna begitu bahagia memiliki pahlawan sepertiku. Aah...mungkinkah keindahan ini tak mampu terucapkan oleh Anna....

---
Sepulangnya Anna, Anna membawa senyuman terindahnya ke depan mata Annie. Tak habis-habisnya Anna tersenyum mengingat kenangan itu. Sangking bahagianya, ia tak mampu untuk tidak menceritakannya kepada Annie.
Annie tak mampu berbuat banyak. Ia hanya dapat tersenyum-senyum tipis meng-iyakan cerita Anna. Ia menahan segala sakit hatinya demi orang-orang terkasih.
”aku tidak akan pernah mampu menandingin rasa bahagiamu, Anna. Semoga ini yang terbaik untukmu dan Vino. Aku ikut bahagia bersama kalian.” ucap Annie lirih.
”yakinlah hati kami juga untukmu dan bersamamu selalu, Annie! Aku, kamu, dan Vino adalah satu. Tak ada seorangpun dapat mengubah itu.. tak seorangpun!” Anna tersenyum lepas sambil berlari menuju kamarnya.
Pandangan Annie tiba-tiba kosong. Ia tak lagi mampu merasakan apa-apa. Hanya air mata yang mulai membasahi deras pipinya yang halus. Hancur? Entahlah... mungkin lebih dari sekedar hancur. Namun Annie memilih untuk tetap tersenyum untuk semuanya. Pengorbanan yang cukup sadis untuk Annie. Namun inilah hidup yang harus Annie hadapi untuk menjalani cintanya.
Hati Annie besenandung lembut. Menjalani hidupnya dengan harus menyaksikan kepahitan kisah cintanya sendiri.

····


---
Kini suara hati Annie sedang berdegup kencang. Karena ia mendengar kabar bahwa Vino akan pindah ke Jakarta. Vino yang semakin dewasa, kini harus menjalani bagian hidupnya yang lain.
Mengapa harus jauh? Itu adalah pertanyaan Annie yang terus ia ulang di hatinya.
Walaupun kini Anna dan Vino tidak lagi sepasang kekasih, kepergian Vino yang juga menjauhkan Anna dan Vino, tidaklah membuat hari Annie riang. Karena walaubagaimanapun, ia justru akan semakin tersiksa dengan tidak dapat lagi sembunyi-sembunyi memandang Vino dengan penuh kasih. Melihat tawa lepas Vino. Bercanda gurau dengan Vino. Atau sekedar memandang langit di malam hari bersama Vino, yang sudah menjadi kegiatan rutin Anna, Annie, dan Vino.

Vino
Keputusanku saat itu sudah bulat. Aku memilih Jakarta untuk tempatku menimba ilmu lebih banyak lagi. Walau berat harus meninggalkan Anna dan Annie, namun itulah pilihanku.
Jika Anna memilih untuk tidak melihat kepergianku secara langsung, Annie justru memberanikan dirinya menghantarkanku hingga stasiun kereta. Annie menggenggam tanganku sekuat mungkin untuk pertemuan terakhirnya denganku untuk beberapa tahun ke depan atau mungkin hanya untuk hingga minggu depan.
Yang pasti perpisahan ini membuat hati Annie terluka dalam.
”salam sayangku untuk Anna dirumah,Annie!” ucapku berat.
Annie hanya mengangguk.
”tolong jangan iringi kepergianku dengan tangis! Berikan aku senyuman hangatmu untuk kusimpan di Jakarta, Annie!” pintaku lembut.
Annie-pun kini tersenyum. Namun tetap tertunduk lemas.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Annie. Aku mengecup lembut wajah Annie yang disambut pelukan oleh Annie.
”No...ada yang belum aku ungkapkan selama ini.” bisik Annie rendah.
”apa itu?”
Annie mengangkat wajahnya untuk memandangku dengan jelas ke mata.
Aku yang bingung kembali tersenyum dan membereskan barang-barang bawaanku untuk bergegas masuk ke dalam kereta yang sudah terkabarkan siap berangkat ke Jakarta.
”aku akan segera memberi kalian kabar setibanya aku di Jakarta. Jangan takut! Kalian terlalu  indah untu aku lupakan.” janjiku manis sambil menggenggam tangan Annie yang terasa begitu dingin.
Wajahku segera berubah karena khawatir Annie sakit.
”Annie...”
”kamu sakit?” tanyaku tiba-tiba.
Annie terdiam.
”Annie...tolong...”
Annie masih terdiam.
”Annie setidaknya...aah..sudahlah..aku harus pergi sekarang. Aku janji akan menjenguk kalian kapan-kapan!”
Annie mengangguk. Menangis. Melipat kedua tangan di dadanya.
”Annie...”
”aku mencintai kamu, Vino.” ungkapnya singkat sambil tersedu-sedu.
Kini akulah yang terdiam. Tak mampu berkata apapun. Dan tak lama aku tertawa. Karena kufikir itu hanya ungkapan biasa untuk seorang sahabat.
”kamu tahu, Annie bahwa aku juga mencintai kamu dan Anna.”
Annie lalu kembali mengangkat wajahnya yang masih terlihat sendu. Annie manatap mataku sedalam-dalamnya ia dapat menatap.
”aku menyakitimu, bukan?” kini aku yang tertunduk lemas.
”aku menyakitimu begitu dalam dan aku tidak menyadarinya. Aku tidak tahu kalau aku ternyata begitu jahat. Aku pikir aku telah menyayangimu, Annie. Ternyata justru sebaliknya...aku..” ucapku lirih.
”bukan salah kamu.” potong Annie. ”akulah yang tidak pernah berani mengungkapkannya. Aku pikir kamu akan menyadari dengan sendirinya. Ternyata tidak.”
Annie lalu mencium tanganku dengan penuh kasih, lalu meninggalkanku sendirian di tempatku berdiri.
Aku yang terkejut hanya mampu memandang Annie yang semakin lama, terlihat semakin mengecil...dan hilang...


····

Jakarta, Maret 2007
”aku sungguh terkejut saat itu, Wo. Aku bahkan tak mampu memanggil namanya.”
aku tertunduk lemah tak berdaya di depan sahabatku yang baik hati.
Aku mencoba menatap wajah Bowo, namun yang kusaksikan hanya wajah Bowo yang terdiam kaku tak berkata apapun.
”Wo!” panggilku.
”terus...” jawabnya datar.
”beberapa hari ini gue mikirin mereka terus, Wo. Nggak tau kenapa... gue juga bingung. Gue sayang Aline, gue nggak mau menghianati Aline dengan masa lalu gue. Tapi sekarang hati gue justru dikuasai masa lalu yang terasa ngegantung banget disini.” jelasku sambil mengusap dada.
”gue jadi nggak tau harus omong apa sama lo, No. Sumpah.”
Lalu terdiamlah kami berdua di teras depan rumah orang tua Bowo. Pandangan kami kosong. Saling tidak tahu harus bicara apa lagi. Tubuh sebenarnya terasa begitu lelah. Namun mata sedang tak ingin terpejam.

····

Lewatlah sudah beberapa hari setelah aku bercerita panjang lebar kepada Bowo tentang masalah masa laluku.
Namun bercerita padanya malam itupun, ternyata tak membantuku sama sekali.
Akhirnya aku sendiri memaksakan diriku untuk menghilangkan perasaan tak enak itu, dan menguburnya dalam-dalam. Aku tak ingin lagi menyakiti perasaan wanita yang kusayangi. Aline.

····

Toko Buku, ’Gudang Buku’

 Aku yang sedang gundah. Mencoba untuk menghibur diriku sendiri dengan pergi ke tempat yang sudah lama tak kukunjungi semenjak aku sendiri sibuk dengan tugas-tugas akhir kuliah masterku. ’Gudang Buku’. Toko buku kesukaanku. Bukan hanya karena tempatnya yang besar, makanya disebut ’Gudang’. Namun lebih dikarenakan aku menyukai interior yang mereka pasangkan. Sungguh nyaman. Aku dapat menghabiskan waktu berjam-jam lamanya jika aku sudah berada di dalam.
Saat aku merasa duniaku sedang gelap, sejenak kulupakan waktu, kututup mataku hingga cahaya tak lagi tampak, lalu kuingat masa-masa terindah dalam hidupku.
Entah bagaimana bisa dua sahabat kecilku dapat berpengeruh besar pada perasaanku. Apakah aku yang tumbuh begitu lugu, atau duniakah yang terlalu pandai mempermainkanku dalam rasa...
Aline...aroma tubuhnya begitu menenangkan fikiranku. Bercinta dengannya adalah sebuah kenikmatan yang tak mampu kujabarkan dengan kata-kata.
Aline...ia dapat menyentuh tubuhku dengan penuh kasih yang mampu membuatku rasa nikmat bercintaku bertambah. Mencumbu seluruh tubuh indahnya. Bergerak kekiri, lalu turun ke bawah, menyentuhnya, menikmatinya, merasakan dirinya di dalam tubuhku...seketika ia dapat membuatku lupa akan segalanya.
Aku membuka mataku kembali. Menyadari bahwa aku disini bukan untuk menghayalkan saat-saat aku bercinta dengan Aline. Bukanya tak layak untuk kuingat, namun aku merasa sedang harus memfokuskan fikiranku ke arah yang lain selain wanita-wanita dalam hidupku.
Kutatap dan berusaha kumaknai arti dari buku-buku yang mengtariku yang jumlahnya tak kurang dari ratusan ribu. Aku bertanya dalam hati, apakah maksud manusia membuat sebuat sebuah buku..
Sedikit demi sedikit kuselidik dan kuintip judul-judul buku yang ada di sekitarku. Aku baru tersadar bahwa aku berada di deretan buku anak-anak.
Senyum kecilku menghiasi wajah. Aku coba mengenang masa kecilku yang begitu indah. Dan lagi, Anna dan Annie hadir bersamaku. Aku sebagai yang paling besar dari kami bertiga, sering kali membacakan buku-buku cerita untuk mereka. Dari cerita dongeng yang membuatku ingin tertawa karena melihat wajah mereka yang menghayal-hayal, hingga buku-buku ilmu pengetahuan yang membuat alis mereka hampir bertemu karena tidak mengerti. Aah...sungguh merekalah yang membuat sebagian masaku berwarna cantik.
Lupakan waktu, lupakan masalah, lupakan penat, tak terasa aku sudah begitu lama di dalam ‘Gudang Buku’.
Suara ribut yang tadinya menghiasi ruang, kini perlahan mulai tak lagi terdengar. Aku cuek saja, karena aku justru merasa lebih tenang seperti ini. Langkahku seakan terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Tubuhku terasa mulai lelah. Entah sudah berapa lama aku disini.
Kucoba mengintip ke barisan buku yang lain secara perlahan. Kini tak lagi kutemukan orang-orang di sekitarku. Lalu aku memutuskan untuk melangkah lebih jauh lagi ke depan. Sama. Tak juga ada orang lain. Dan...memang ternayata aku sudah sendirian disini. Kutengok jam tanganku, sudah pukul 11.00 malam. Pastinya aku lupa waktu karena tempat ini tutup jam 10.00 malam.
Segera aku menghampiri pintu keluar, dan ternayata sudah terkunci.
“hallo...apakah masih ada orang disini?” teriakku cukup kencang.
Tak ada yang menjawab.
“tolonglah, kalau ada yang mendengarku, tolong keluarkan aku dari sini! Hallo...” cobaku lagi.
Tetap tak ada yang terjadi.
Aku lalu mengitari ‘Gudang Buku’ untuk mencari pintu keluar lain selain pintu utama. Namun khayalku sia-sia. Satu-satunya pintu yang ada hanyalah pintu masuk ke ruangan kantor staf ‘Gudang Buku’.
“malangnya aku...” ucapku pelan.
Beberapa detik aku merasa waktu berhenti di tempaku. Sepi. Tak ada yang bergerak di ruangan yang sangat besar ini. Mataku kubuka lebar. Kukelilingi ‘Gudang Buku’ sampai aku sadar betul bahwa tiada lagi yang tidak kutelusuri. Otakku kukuras untuk memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat bertahan hingga esok tempat ini kembali terbuka. Hingga akhirnya aku merasa sungguh lelah. Sangat lelah.
Hanya cahaya redup dan ratusan ribu buku yang menemaniku. Aku terduduk lemas tak beradaya. Hingga akhirnya aku baru terfikir untuk menghubungi Bowo untuk membantuku. Namun sial, HP-ku mati karena baterainya tak lagi dapat bertahan. Namun sial, saat kurogoh kantong celanaku, aku hanya menemukan dua batang rokok yang tersisa, namun sial, namun sial hanya MP3-ku yang dapat kuandalkan.
Perlahan aku dengar suara yang cukup membuatku terkejut, tak lain bunyi itu adalah bunyi suara perutku yang minta diisi. Ya..aku kelaparan, haus, juga binggung. Kurasa jika aku merokok, aku akan merasa lebih haus. Namun apa daya, selain menghisap rokok, tak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk menghibur diriku sendiri.
Dalam lelah, akhirnya kunyalakan juga rokokku dan menghisapnya senikmat mungkin.
Terduduk lemas, bagai orang yang baru saja kalah berperang.
Iseng, aku berkeliling melihat-lihat buku-buku yang aku anggap menarik untuk dibaca. Hingga akhirnya...mataku tertuju kepada satu buku yang entah mengapa, buku itu terlihat seperti buku yang ditujukan untukku. Aku bagai melihat efek cahaya yang menyinari buku itu.
Ku kenakan kacamataku, ku perdekat langkahku, lalu kuraih buku itu. ‘Cinta Benang Merah’. Sebuah novel yang ditujukan untuk mereka yang kehilangan arah untuk menyelesaikan masalah hati. Atau cinta lebih tepatnya.
Entah mengapa tiba-tiba aku merasa buku ini sangat cocok dengan keadaanku sekarang. Bimbang karena tidak merasa yakin siapa yang aku cintai sebenarnya.
Lagipula kupikir, tak akan ada ruginya bila kubaca buku itu. Daripada tak ada hal lain yang dapat aku lakukan.
“okay,Vino. Tuhan pasti ingin menyampaikan sesuatu kepadamu atas kejadian malam ini.” Kataku pelan pada diri sendiri.
Perlahan kubuka buku yang sebelumnya tak pernah kulihat ini. Covernya tak ada gamabar lain selain sebuah gulungan benang berwarna merah pekat dengan tulisan diantaranya ‘Cinta Benang Merah’ karya M.F. Alwie. Aku bahkan belum pernah mendengar nama M.F. Alwie sebelumnya. Tapi ya sudahlah...mungkin hanya seorang pengarang baru.
Lembar demi lembar kujelajahi. Kata-kata mengalun indah namun jelas. Aku suka gaya bahasanya. Tidak frontal, namun tegas. M.F. Alwie bahkan memasukkan sebuah puisi di dalamnya yang menurutku cukup indah.
       Cinta Benang Merah
Seandainya saja kuraih tangannya kembali bersamaku
Mungkin dunia tidak akan seseram malam ini
Aku duduk di sudut ruangan tanpa tahu siapa yang aku cintai
Merasa bimbang sendiri

Dimana cinta benang merahku?
Aku tertegun sesaat menunggu jawaban yang tak kunjung datang
Dimana cinta benang merahku?
Aku yang kesepian merasa dunia ini mempermainkanku seenaknya

Tertawa kini tak lagi sama
Berjalan kini tak lagi lama
Apapun yang kulakukan kini semuanya sama.. rata..
Ku ditinggalkan tanpa di beri kesempatan bahkan hanya untuk memandang dua mata

Cinta benang merah
Kini ku kehilangan arahku
Cinta benang merah
Kini ku kehilangan cintaku

Sepi.. sesepi langit tanpa bintang
Rapuh.. serapuh kayu tak terpakai panjang
Sedih.. sesedih aku yang merasa pedih

 
Sang penulis puisi menjelaskan banyak makna dalam kata-kata yang indah. Sungguh puisi itu datang bagai petir yang menyambarku saat semua orang bahkan tak tahu jika sekarang sedang hujan.
Aku lalu bertanya pada diriku, benarkah aku sebenarnya kesepian. Benarkah sebenarnya aku ini rapuh. Benarkah sebenarnya aku ini sedang merasa sedih. Kalau memang iya, memangnya aku ini kehilangan siapa...? kalau memang iya, seberapa banyak waktukah yang sudah aku lewati tanpa memaknai waktu itu sendiri...?
“Cinta benang merah, apa arti sebenarnya kalimat ini?” ucapku tak sadar.
Kembali kulanjutkan lembaran-lembaran buku itu.
Berkali-kali aku harus terkejut akan kenyataan atas diriku dan perasaanku. Merasa menyesal mengapa aku begitu bodoh.

Objectifnya, seseorang akan lebih mudah mencintai orang yang sering ia lihat daripada seseorang yang ada di masa lalunya (di hati). Namun dimanakah letak cinta sebenarnya  jika bukan di hati...
Sungguhlah hanya sebuah birahi yang berkata jika aku jatuh cinta melalui mataku, bukan hatiku. Sungguhlah hanya sebuah cinta semu jika mata dan hatiku tak mengatakan hal yang sama pada satu waktu.
Lalu, yang mana cinta untukku? Pandangankah? Atau rasakah?

Tak pernah kumerasa begitu bersemangat membaca sebuah novel sebelumnya. Aku seperti tak sabar membaca bagian akhir dari novel ini. Yang secara tidak sadar, aku mulai merasa bahwa novel ini bercerita tentang hidupku.
Kubuka lembaran lain, lagi..lagi..dan lagi... hingga aku akhirnya terlelap di tempatku terduduk dan membaca.
“mas...mas...permisi...”
Selintas kudengar suara lembu seorang wanita seperti memanggilku...
Perlahan kubuka mataku. Betapa terkejutnya aku saat kubuka mataku, tidak kurang dari empat orang memandangku penuh tanya.
“aah...akhirnya..” kataku lega karena aku yakin sudah semalaman aku disini, kini matahari sudah berkuasa. Dan orang-orang yang bekerja di ‘Gudang Buku’ sudah menemukanku tergelepak di lantai.
“maaf. Anda sedang apa ya? Mengapa anda bisa berada disini? Apakah kemarin anda terkunci disini?” tanya seorang pria berbadan kurus dan berpenampilan rapih dengan kemeja dan dasi.
“aku rasa begitu.” Jawabku singkat.
Aku lihat yang lain menyebar memeriksa ruangan dan buku-buku. Aku rasa mereka menegcek apakah ada yang aku rusak kemarin malam.
“aku minta maaf atas semua ini. Namun aku bersumpah, tak ada hal buruk yang aku lakukan semalam.” Jelasku kepada pria yang wajahnya masih saja tampak ragu padaku. “kalau tidak percaya, silahkan anda periksa saja tempat anda ini!”
“ooh...tidak..tidak! saya tidak bermaksud demikian. Saya dan yang lain hanya terkejut melihat anda disini.” Pria itu lalu melihat buku yang aku baca. “apa anda akan membeli buku itu? Anda menyukainya?”
Aku yang lelah, pegal, kedinginan, dan bingung, langsung tersadar ketika pria itu menyinggung tentang buku ‘Cinta Benang Merah’ itu.
Segera kurapihkan barang-barangku dan langsung melesat keluar untuk kembali ke rumah kontrakanku.
“aku akan kembali nanti!” teriakku sambil berlari.
Aku seperti kehilangan akal. Aku berlari pulang tanpa berfikir untuk menggunakan jasa tranportasi. Yang ada di benakku hanya pulang ke rumah secepat mungkin. Mengambil barang-barang yang kuperlukan untuk perjalananku pulang ke Jogya.
Kini baru kusadari, bahwa aku mencintai Annie. Aku hanya ingin bertemu dengannya dan mengatakan padanya bahwa aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Isak tangis yang kukeluarkan tak lagi kupedulikan. Tak peduli seperti apa orang memandangku.
Aku sungguh menangisi diriku. Mengapa butuh waktu lama untukku menyadari siapa cintaku sebenarnya.
Bayangan Annie datang berkali-kali di dalam benakku saat aku masih berlari. Berlari mengejarnya.
“ya Tuhan...kini aku sedang tidak berada di sisinya. Mohon sampaikan aku mencintainya.” Ucapku pelan sembari tetap berlari.
Sesekali saat aku kehabisan nafas dan tenaga, aku berhenti. Lalu berlari lagi. Secepat aku bisa.

····

Sesampainya aku dirumah. Aku kembali terkejut melihat Aline tertidur di sofa ruang tamu. Aku yang bernafas setengah-setengah, mencoba untuk tidak membuatnya bangun. Aku mengendap-endap memasuki ruang makan untuk mengambil segelas air. Namun apa yang aku saksikan...aku melihat begitu banyak makanan tersaji dengan indahnya namun tak tersentuh.
“ya Tuhan...aku telah melupakannya.”
Aku terduduk di kursi meja makanku. Aku baru ingat bahwa kemarin adalah perayaan hari jadi kami yang pertama.
Aku merasa begitu bersalah. Hatiku bergejolak tidak karuan.
Aku merasa ini semua serentak terjadi dan membuatku begitu kalut.
Aku memandang wajah Aline yang walaupun tertidur, ia tampak memancarkan ekspresi kecewa padaku.
Kini aku tak lagi merasa lugu. Tak lagi benar-benar tahu apa yang harus aku lakukan seperti sekitar 15 menit yang lalu saat aku berlari dari ‘Gudang Buku’ dan berencana menemui Annie dan mengatakan padanya bahwa aku mencintainya.
“ya Tuhan, Annie!” ucapku cepat yang tak sengaja membangunkan Aline dari tidurnya.
Segera aku beranjak dari dudukku dan bergegas menuju kamar. Membereskan barang-barang yang dapat aku bawa.
Kudengar Aline memanggil-manggilku dari ruang tamu tempatnya tertidur tadi. Aku mencoba untuk tidak mendengarnya, atau berpura-pura tidak mendengarnya agar dapat menekan rasa bersalahku.
“sayang, kamu darimana semalam? Aku...”
“Aline aku akan menjelaskannya nanti. Okay. Aku janji. Tapi sekarang...”
“Vino...”
“aku tahu...aku tahu...” aku lalu menghampirinya. Meraih tangannya dan berlutut di depannya. “aku tahu,Aline. Aku bersalah. Aku minta maaf. Tapi sungguh ini sulit untuk aku jelaskan sekarang.” Aku menatapnya dalam-dalam. Aku berharap ia cepat dapat mengerti apa yang aku maksudkan.
Aku yang tergesa-gesa tak lagi dapat membujuknya karena Aline terlalu lama terdiam. Akhirnya aku meninggalkannya dan membawa barang-barangku bersama.
Aku merasa langkahku agak berat karena harus meninggalkan Aline dengan perasaannya yang aku rasa tidak karuan sekarang. Namun aku tetap harus.
Aku menatap Aline berkali-kali yang terlihat mengeluarkan air mata karena aku pergi tanpa penjelasan yang jelas.
“Vino...”
Aku membalikkan tubuhku untuk mengikuti datangnya suara itu, Aline.
“aku akan tetap disini sampai kamu pulang, ya sayang ya....” lalu ia tersenyum.
Aku tak dapat berkata apapun. Aku langsung masuk ke dalam taksi dan memerintahkan supir taksi agar segera menghantarkanku ke stasuin kereta secepat mungkin.
Kepalaku rasanya ingin pecah. Aline, Annie, Aline, Annie, Aline, Annie...begitu berulang-ulang.
Sebagian dari diriku ingin segera bertemu dengan Annie. Namun sebagian lainnya ingin tetap bersama Aline yang selama ini selalu menemaniku dengan setia, saat susah dan senang.
Entah mengapa hati ini sangat bergejolak. Meluap-luap bagai semburan api yang tak lagi tahan berada di dalam gulungan baru keras, yang akhirnya memuntahkan kemarahannya dan melahap segala apa yang ada di sekitarnya. Kini aku hanya dapat berharap bahwa aku akan dapat memuntahkan isi hati langsung kepada hati yang tepat. Semoga saja tempat itu masih ada.

····

Jogyakarta, Mei 2007. Pukul 18.00 Sore.

Suara gemuruh hujan menemaniku saat sesampainya aku di Jogya. Senyumku menghiasi stasiun. Setidaknya kerinduanku akan kampung halamanku terhenti sudah. Aku sengaja tidak memberi tahu siapapun tentang kedatanganku di Jogya. Ingin rasanya menembus rintihan hujan dan segera memeluk Annie. Aah...tak sabar rasa ini untuk memeluk dan mengecup keningnya selama mungkin.
Setelah beberapa lama, hujanpun berhenti. Aku langsung bergegas mengangkat tas-ku dan memberhentikan angkutan umum untuk mengahantarkanku ke tempat tujuan.
Sepanjang perjalanan kupandangi kota tua-ku yang kurindukan. Masa kecilku yang sering kuhabiskan bersama teman-temanku. Bersama Annie, dan Anna. Aah..dulu aku pernah indah bersama Anna. Bagaimana hati ini akhirnya lebih dekat bersama Annie. Sungguh Tuhan telah membimbingku.
Jogya-ku tercinta. Aku teringat akan kalimat dari karya M.F. Alwie, ia sempat menyinggung tentang Jogya. Ia mengatakan bahwa “Djogya adalah kota yang akustik”. Aku rasa aku setuju dengannya tentang kata itu. Jogya, kota akustik.
Sudut-sudut yang dulu pernah kusinggahi. Tempat-tempatku bermain. Seluruh kesenangan dan kenangan suka cita yang telah kutinggalkan selama beberapa tahun. Aah...aku rasa aku terlalu banyak mengenang.

····
Kediaman Keluarga Widoyo (Anna & Annie). Pukul 20.00 Malam.

Rumah itu. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Aku bahkan tinggal dan tumbuh di dekat rumah itu sebelumnya hingga akhirnya ibuku memutuskan untuk tinggal di Surabaya bersama pamanku. Tak tahan sepi, kata ibu.
Namun aku tidak menyalahkannya. Wajar ibu merasa sendiri dan sepi, semua anaknya sudah tak lagi tinggal bersamanya.
Ada langkah berat di kaki-ku yang sulit aku hindari untuk bertemu Annie. Aku bahkan hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk bertemu dengannya. Apakah yang membuatku begini? Bukankah aku sangat ingin bertemu dengannya?
“Vino...”
aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Vino Andrian Wibowo.”
Dan lagi.
Aku lalu mencari arah datangnya suara itu.
Aku tersentak. Tak kusangka aku akan melihatnya sebelum aku menyiapkan diriku, khususnya mentalku.
“Annie.”
“Vino....” ia lantas memeluknya.
Wajahnya terlihat agak muram. Seperti habis menangis.
“Annie, ada apa dengan wajah kamu? Habis menangis?” tanyaku sambil merangkul wajahnya dengan kedua telapak tanganku.
“begitu miripkah aku dengannya hingga kau tak dapat membedakannya? Aku Anna.”
Kami berdua lalu tertawa lepas. Lalu terdiam. Ia memandangku dengan wajah kosong lalu meneteskan air mata. Aku langsung menebak bahwa ada yang tidak beres dengan Annie.
“Anna, apa yang terjadi?”
“kamu tidak mengetahuinya? Lalu mengapa kamu ada disini?”
“Anna, katakan saja apa yang terjadi! Tolong! Annie kah? Apa yang terjadi dengan Annie, Anna?” aku mulai panik dan tanpa kusadari aku telah mengoyak-oyak tubuh kecilnya.
“Annie...” lalu menangis bagai anak kecil yang hilang dari orang tuanya.
Aku mulai memeluknya. Berusaha menenangkannya sebisaku. Aku semakin yakin ada yang harus aku ketahui sesegera mungkin.
“permisi.”
Seorang lelaki menghampiriku dan menyalamiku layaknya pria terhormat. Lelaki itu tampan dan bertubuh tegap.
“Agung.”
“Vino.” Balasku tenang.
“No, ini Agung. Suami-ku.”
Aku terkejut. Aku menyangka bahwa ini salahku karena tidak lagi berhubungan dengan mereka, kini aku tak tahu menahu tentang mereka. Sesaat aku merasa sangat takut bahwa Anna akan memberitahuku bahwa Annie juga sudah menikah.
“ooh. Wow! Selamat kalau begitu. Untuk kalian berdua tentunya.” Kataku sedikit gugup.
“ya! Sebulan yang lalu tepatnya. Maaf aku nggak kasih tahu kamu tentang ini. Aku nggak tahu alamat dan nomor kamu di Jakarta. Ibu kamu juga sudah lama pindah. Jadi, aku benar-benar nggak tahu tentang kabar dan keberadaan kamu.” Jelas Anna.
“bukan salah kamu, Anna. Dan Annie? Dimana dia? Bisa aku bertemu dengan dia sekarang?” jawabku bersilat agar dapat bertemu dengan Annie secepatnya.
Kini berbalik Anna dan suaminya saling memandang.
Dan Anna memelukku sambil berbisik, “aku tahu kamu datang karena cintamu untuknya, No. Tapi jika kamu memang mencintainya, relakan dia untuk pergi selamanya dengan tenang!”
Sebuah benang kini telah tertera jelas di depan mataku. Kini Annie telah pergi. Bukan hanya untuk sesaat, namun untuk selamanya.
Kini tak ada lagi yang kusebut dengan cinta. Cintaku telah pergi, entah siapa yang ia tinggalkan. Segalanya terasa jelas sesaat, namun tak ayal di saat berikutnya kembali semu.

Meirina Alwie
Jakarta, 2007

*LOL*

CINTA BENANG MERAH

Seandainya saja kuraih tangannya kembali bersamaku. Mungkin dunia tidak akan seseram malam ini. Aku duduk di sudut ruangan tanpa tahu siapa yang aku cintai. Merasa bimbang sendiri.
Dimana cinta benang merahku? Aku tertegun sesaat menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Dimana cinta benang merahku? Aku yang kesepian merasa dunia ini mempermainkanku seenaknya.
Tertawa kini tak lagi sama. Berjalan kini tak lagi lama. Apapun yang kulakukan kini semuanya sama.. rata..
Ku ditinggalkan tanpa di beri kesempatan bahkan hanya untuk memandang dua mata.
Cinta benang merah. Kini ku kehilangan arahku. Cinta benang merah. Kini ku kehilangan cintaku
Sepi.. sesepi langit tanpa bintang. Rapuh.. serapuh kayu tak terpakai panjang.

Meirina Alwie
November, /09/2007

AMELIA ANNETTE I

Langkah..menuntunku ketempat yang kuinginkan. Mimpi..membuatku merasa ada di dunia lain namun bukan aku. Pandangan..membuatku melihat dunia namun terkadang menyiksa. Rasa..jika ini yang disebut dengan perantara hati entah nyata atau maya.
Amelia Annette berkata bahwa indah itu adalah baik. bersenandung bahwa bunyi itu ada bagi yang bisa mendengar. Bercinta pertanda mereka punya rasa. Berkorban karena merasa tidak punya apa-apa.

Meirina Alwie
Tangerang, 04/10/2008

DON'T WANNA GROW UP

Love me, but don’t love me to much
Hold me, but don’t hold me to tight
    For I want to be free
    Play and run like a child at three
No, I don’t want to grow up
It’s painful being an adult

Meirina Alwie
Tangerang, 2002

A MOUNTAIN

You are like a mountain
From a distance you’re so beautiful and fascinating
Curious, I come closer to see you
    Unfortunately…I find out
    That you’re just a phantom with no beauty or enchantment
You don’t want people to touch you
You just want them to admire you
You’re like an illusion created by poets
You can never be completely mine
Just at a glance as in a dream

Meirina Alwie
Tangerang, 2002

NADA

Feel you when you hold me. Mean it in every word that came out. Loving you like there is no tomorrow. So typical.
I want to know how much you miss me. I want to know how much you love me. I want to know how much you want me.
In your eyes, I can see the only one you see.

Remember every single thing I’ve done.
I used to love my life


Meirina Alwie
“Be strong is the best I can do for my self”
2005